Kamis, 18 Juli 2024

Kahlil Gibran: Sayap-Sayap Patah (Book Review)





Judul Buku : Sayap-Sayap Patah

Penulis : Kahlil Gibran

Penerjemah : Sapardi Djoko Damono

Penerbit : Bentang Pustaka, 2021 (Cetakan ke-4, 2022)

Ketebalan : 127 halaman


Ketika mengetahui siapa pengarang dan penerjemahnya, rasanya langsung tertarik untuk membeli buku ini. Siapa yang belum pernah mendengar nama Kahlil Gibran, dan Sapardi Djoko Damono. Dua-duanya adalah sastrawan yang namanya sudah tidak asing di telinga para penikmat sastra. 

Sayap-Sayap Patah ini adalah terjemahan dari buku dengan judul The Broken Wings karya Kahlil Gibran terbitan Bantam Book, New York, pada tahun 1968. Buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Arab dengan judul Al-Ajnihah al-mutakassirah, dan terbit pertama kali pada tahun 1922, serta termasuk salah satu karya Kahlil Gibran yang best seller.

Buku ini mengisahkan cerita cinta antara dua orang insan yang mana takdir tidak mengijinkan mereka untuk bersama. Ditulis dengan sudut pandang penulis pertama yang adalah tokoh pria dalam kisah cinta itu. Dalam cerita Romeo-Juliet, kedua tokoh utamanya meninggal. Sementara dalam Sayap-Sayap Patah ini, tokoh pria tidak meninggal. Dan buku ini adalah penjabaran cerita dari sudut pandang pria tersebut. 

Di bagian awal ceritanya penulis menuliskan sebagai berikut.

Oh, sahabat-sahabat masa mudaku yang tersebar di Kota Beirut, jika kalian melewati makam di dekat hutan pinus, masuklah tanpa bersuara dan berjalanlah perlahan sehingga langkah kalian tidak akan mengganggu tidur orang mati, dan berhentilah dengan rendah hati di pusara Selma dan sapulah tanah yang menutupi jasadnya dan sebut namaku dalam tarikan napas yang dalam dan katakan kepada diri kalian sendiri, "Di sini, semua harapan Gibran, yang hidup sebagai tawanan cinta melampaui lautan, dikuburkan. 

Tepat di sini laki-laki itu kehilangan kebahagiaan, mengering air matanya, dan tak ingat lagi pada senyumnya."

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa nama tokoh pria dalam kisah tersebut adalah Gibran, yaitu nama penulis sendiri. Pembaca mungkin berasumsi bahwa Sayap-Sayap Patah ini adalah sepenggal kisah hidup Kahlil Gibran. Saya pun berasumsi demikian. Tapi dalam buku tersebut tak ada yang menjelaskan bahwa ini adalah kisah pribadi penulis.

Saya butuh waktu cukup lama membaca buku yang hanya setebal 127 halaman dengan ukuran kertas A6 ini. Salah satunya mungkin karena Kahlil Gibran menggunakan gaya bercerita yang metaforis. Gibran menggunakan banyak perumpamaan dalam buku ini, yang mungkin bagi sebagian pembaca abad ke-21 seperti saya, akan menimbulkan kesan 'mendayu-dayu'. 

Terlepas dari kesederhanaan tema cinta yang diangkat dalam cerita ini, sebenarnya di dalamnya terdapat konflik yang kompleks. Diceritakan bahwa Selma adalah anak seorang yang terpandang dan dijodohkan dengan keponakan seorang Uskup. Meskipun Selma hanya mencintai Gibran namun ia tetap menerima perjodohan tersebut. Dalam pengantar penerjemah, Sapardi mengungkapkan,

Cinta adalah tema utama dalam kisah ini, tetapi Gibran juga menyelipkan berbagai masalah yang berkaitan dengan nasib perempuan, penindasan, ketidakadilan, dan korupsi yang terjadi di Lebanon. Dan, dalam kisah ini semua itu bersumber pada penguasa agama, yakni Uskup.

Gibran juga mengisahkan dengan panjang lebar mengenai hubungan yang tetap dijalinnya dengan Selma setelah pernikahan Selma. Hubungan ini bisa dikategorikan sebagai hubungan gelap karena Selma sudah memiliki suami. Hal ini mungkin bertentangan dengan norma yang dipegang masyarakat mengenai hubungan antara pria dan wanita. Tetapi pembaca mungkin akan memiliki opininya masing-masing mengenai kelayakan hubungan ini berdasarkan alasan yang ada.

Bagi saya, Sayap-Sayap Patah ini merupakan sebuah kisah cinta yang mengiris hati. Ada beberapa bagian yang membuat saya menitikkan air mata, dan membuka mata saya mengenai rumitnya kehidupan Selma, yang mungkin mewakili kehidupan wanita pada jamannya. Harus menjalani hidup bersama pria yang tidak dicintainya saja sudah membuatnya sangat menderita. Masih ditambah harus kehilangan ayahnya, bayinya, dan juga nyawanya sendiri. Dan Gibran, tokoh "aku" yang mencintai Selma dalam cerita itu harus menyaksikan semua itu tanpa daya untuk berbuat apa pun.

Gibran mengisahkan cerita ini dengan apik dan mampu membuat pembaca mengerti ketulusan cinta antara Gibran dan Selma.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar